SPORTSJABAR.COM-Setelah delapan bulan tiarap gegara pandemi COVID-
19, DCDC Pengadilan Musik kembali menyapa penggemarnya.Namun
disesuaikan dengan kondisi saat ini DCDC Pengadilan Musik edisi ke-42 ini
digelar secara virtual di Studio Lima,Kota Bandung, Jumat (9/10/2020).
DCDC Pengadilan musik yang menghadirkan solois Jazz muda yang tengah
naik daun, Ardhito Pramono sebagai terdakwa, dilaksanakan dengan
protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang ketat.
Ardhito harus menghadapi dakwaan dari duet jaksa penuntut, Budi Dalton
dan Pidi Baiq. Untuk ini dia didampingi Rully Cikapundung dan Yoga PHB
sebagai pembela. Jalannya persidangan dipimpin Hakim Man Jasad yang
dibantu Edi Brokoli sebagai panitera.
Sejak awal persidangan, penyanyi yang sudah merilis empat album dalam
kurun waktu lima tahun langsung dicecar pertanyaan oleh Budi Dalton dan
Pidi Baiq.
Budi Dalton berusaha mengorek latar belakang musik Ardhito dengan
menanyakan sejak kapan tertarik pada musik. Apakah ada anggota
keluarga yang berkecimpung di dunia musik, dan apa alasan memilih musik jazz.
Pria kelahiran Jakarta, 22 Mei 1995 ini mengaku tertarik pada musik
karena eyangnya dulu seorang penyanyi yang sering tampil di istana
kepresidenan ketika masa Presiden Soekarno. Ardhito mengetahui lagu jazz
juga dari sang eyang.
“Alasan saya memilih jazz karena Indonesia juga punya musik jazz, yaitu
swing keroncong. Dari eyang saya mendengarkan penyanyi pada jaman
dulu seperti Sam Saimun, Ismail Marzuki, dan Theresa Zen,” ujarnya.
Pidi bertanya mengapa sebagai anak muda Ardhito memainkan musik jazz
, padahal jazz kurang populer di kalangan anak muda jaman sekarang.
Ardhito menjelaskan jazz dipersepsikan sebagai musik susah, padahal
dilihat dari sejarahnya jazz merupakan musik rakyat. Ia mengaku mencoba
berada di garis tengah biar diterima kalangan milenial.
Ardhito mengaku dia pernah mencoba genre lain, tapi tidak pernah merasa
nyaman. Di jazz dia lebih menjiwai.
“Saya ingin mengubah stigma musik jazz yang katanya musik berat. Supaya
diterima kalangan muda saya juga membuat lirik yang terkait dengan
kehidupan mereka,” ungkap Ardhito yang piawai bermain gitar dan piano.
Yang unik ia mengaku mulai dikenalkan dengan alat musik oleh pak
Sakiman, guru les matematika ketika duduk di bangku sekolah dasar.
Meskipun sudah main musik sejak sekolah dasar, tapi lulusan JMC
Academy, Australia, jurusan perfilman ini baru serius di jalur musik jazz
pada 2015 dengan mulai rekaman sendiri dan menggarap album.
Pada 2017 Ardhito merilis mini album perdana dengan judul namanya.
Sukses dengan mini album ‘Ardhito Pramono’ ditahun yang sama Ardhito
kembali merilis mini album bertajuk ‘Playlist Vol. 2’.
Pada 2019 Ardhito kembali merilis mini album ‘Letter toMy 17 Year Old’.
Dan terakhir Craziest Thing Happened in My Backyard pada 2020.Selain itu
ada karya lain dari Ardhito yang ikut mewarnai khazanah perfilman
Indonesia dengan melepas single yang menjadi soundtrack untuk film
‘Susah Sinyal’ dan’Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’.
Budi Dalton penasaran kenapa Ardhito tidak membuat grup band seperti
yang dilakukan musisi muda umumnya.
” Dulu pernah bikin grup band ketika masih SMA.Tapi bubar karena
berpencar saat kuliah.Lagian lebih enak sendiri,” terang Ardhito.
Pidi ingin tahu apa alasan Ardhito selalu menulis lirik dalam bahasa
Inggris ? Apakah memang ingin menjangkau pendengar mancanegara.
Ia mengaku tidak percaya diri kalau menulis lirik bahasa Indonesia, tapi
dirinya berusaha belajar. Pada album berikutnya ia ingin mencoba menggunakan
bahasa Indonesia.
” Soal jangkauan pendengar,awalnya enggak kepikiran bakal didengar sama
orang luar, tapi nyatanya lagu saya didengar di luar Indonesia, ini bonus,”
ungkap Ardhito.
Sebelum pembacaan vonis hakim, Ardhito mendapat kesempatan menampilkan karyanya,yaitu Fine Today, Bitterlove, dan Here We Go Again.
Akhirnya Hakim Man Jasad dalam keputusannya menjatuhkan vonis bebas
untuk Ardhito, namun dengan syarat harus terus berkarya.
Perwakilan DCDC Pengadilan Musik, Agus Dhani Hartono gembira penyelenggaraan DCDC Pengadilan Musik edisi ke-42 yang digelar secara virtual, ternyata masih mampu menarik perhatian
khalayak.
“Kami pun harus tetap memerhatikan dan menerapkan protokol kesehatan COVID-19 sehingga DCDC Pengadilan Musik malam ini harus digelar secara virtual,” jelas Dhani.
Mengacu pada protokol pencegahan COVID-19,menurut Dhani dalam proses pelaksanaan di Studio Lima, pihaknya membatasi jumlah penonton yang hadir dan hanya berdasarkan undangan agar tidak terjadi kerumunan.
Terkait diseretnya Arditho Pramono sebagai terdakwa pada persidangan perdana di masa pandemi ini, Danny menyebutkan sudah diatur jauh-jauh hari, sebelum pandemi Covid-19 pada 2019.
Ia mengatakan sambutan pemirsa yang menyaksikan langsung di saluran streaming YouTube DCDC TV,mencapai ribuan akun. Ini membuktikan netizen dan para Coklat Friends sudah rindu kehadiran DCDC Pengadilan Musik.
“Semoga dengan format seperti ini kami bisa tetap hadir bulan berikutnya, awal November nanti,” kata Dhani.
Danny berharap penyelenggaraan DCDC Pengadilan Musik Virtual
yang pertama ini bisa menjadi landasan yang baik untuk
gelaran DCDC Pengadilan Musik Virtual berikutnya di tengah pandemi Covid-19.(BUDI)